Tuesday, July 10, 2018

NAMA       : HALEN RASDINA
KELAS      : 2ID05
MATKUL   : HUKUM INDUSTRI

Sebanyak 20 produsen minyak goreng kelapa sawit dihukum denda total Rp 290 miliar oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena terbukti melanggar undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ke-20 perusahaan tersebut dinyatakan bersalah melanggar pasal 4 tentang perjanjian untuk penguasaan produksi, pasal 5 tentang kartel dan pasal 11 tentang perjanjian di antara pelaku usaha untuk mempengaruhi harga. Dalam sidang pembacaan putusan, pada Selasa (4/5) malam, majelis hakim yang dipimpin oleh anggota KPPU Deddy S. Martadisastra mengatakan struktur pasar minyak goreng curah di Indonesia sangat terkonsentrasi kepada beberapa perusahaan saja. “Kalau dilihat dari perkembangan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar menguasai 86,4 persen sampai 97,5 persen pangsa pasar,” katanya. Keempat perusahaan itu adalah Musim Mas Group, Wilmar Group, PT. Smart tbk dan Permata Hijau Group. Sementara untuk minyak goreng kemasan sangat terkonsentrasi atau highly concentrate dengan kecenderungan semakin meningkat. Karena beberapa kelompok perusahaan menguasai antara 97 sampai 98 persen pangsa pasar. KPPU juga menemukan bukti adanya kesepakatan di antara produsen untuk menentukan harga minyak goreng. “Buktinya ada pertemuan pada tanggal 29 Februari 2008 dan 9 Februari 2009 untuk menentukan harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi,” kata anggota majelis Didik Ahmadi. Harga minyak sawit sempat turun pada periode 2007 sampai 2008. Namun produsen tidak merespon dengan penurunan harga minyak goreng. Akibat kesepakatan di antara produsen minyak goreng, konsumen dirugikan sebesar Rp 1,27 triliun untuk minyak goreng kemasan dan Rp 374,2 miliar untuk minyak goreng curah. Laporan dugaan monopoli dan kartel diajukan terhadap 21 produsen minyak goreng. Namun hanya 20 yang dihukum denda. Satu perusahaan yaitu PT. Nagamas Palm Oil Lestari dinyatakan tidak terbukti melanggar pasal yang dituduhkan. Kuasa hukum lima terlapor, Rori Rinto Harsa Wardhana mengatakan pihaknya belum menentukan langkah hukum yang akan diambil terkait putusan ini. “Kami akan koordinasi dulu dengan klien. Tetapi pada prinsipnya keputusan ini tidak mencerminkan fakta yang sesungguhnya,” terangnya. Para terlapor dalam kasus ini adalah:

PT. Multimas Nabati Asahan
PT. Sinar Alam Permai
PT. Wilmar Nabati Indonesia
PT. Multi Nabati
PT. Agrindo Indah Persada
PT. Musim Mas
PT. Inti Benua Perkasa Tama
PT. Mega Surya Mas
PT. Agro Makmur Raya
PT. Mikie Oleo Nabati Industri
PT. Indokarya Internusa
PT. Permata Hijau Sawit
PT. Nagamas Palm Oil Lestari
PT. Nubika Jaya
PT. Smart tbk
PT. Salim Ivomas Pratama
PT. Bina Karya Prima
PT. Tunas Baru Lampung
PT. Berlian Eka Sakti Tangguh
PT. Pasifik Palm Oil Industri
PT. Asian Agro Agung Jaya
        Selain menghasilkan minyak goreng curah, perusahaan di atas juga memproduksi minyak goreng kemasan dengan berbagai merek. Seperti: Sania, Fortune, Filma, Kunci Mas, Tropical, Hemart, Fraiswell, Forvita, Rosebrand, Camar dan Harumas.

ANALISIS KASUS

        Berdasarkan kasus di atas, terdapat pelanggaran monopoli harga minyak goreng yang telah dilakukan oleh para produsen kelapa sawit tersebut. Indonesia yang tergolong ke dalam negara berkembang terdiri dari masyarakat dengan mayoritas keadaan ekonomi menengah ke bawah, sehingga penguasaan harga minyak goreng tentu sangat berpengaruh kondisi ekonomi sehari-hari. Pemerintah yang kurang sigap dalam bertindak dan kurang responsif akan keluhan masyarakat akan kenaikan haarga minyak goreng menjadi beberapa faktor yang memicu timbulnya permasalahan di atas. Pemerintah sebaiknya mengutamakan keadilan dan kemakmuran rakyat mengingat Indonesia adalah negara demokrasi berasaskan kedaulatan rakyat. Pengawasan dan perhatian lebih dari pemerintah terhadap bahan pokok termasuk harga minyak goreng diharapkan bisa mencegah kenaikan harga bahan pokok masa mendatang atau setidaknya dapat mengendalikan harga di pasaran. Lonjakan harga minyak goreng yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan tiap tahun, sudah melanggar undang-undang perindustrian nomor 5 tahun 1999 (pembaruan tahun1984) yang berbunyi:

Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945;
bahwa arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri;
bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruh mampu melandasinya, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perindustrian.
        Para produsen penghasil kelapa sawit tersebut juga telah melanggar pasal 4 dan pasal 11 mengenai kerja sama perusahaan dan pemerintah yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja dan yang menjadi inti permasalahan merugikan masyarakat Indonesia. Hukuman yang hanya berupa denda sebesar Rp 290 miliar dianggap tidak adil dibandingkan dengan kerugian yang telah dialami konsumen mencapai Rp 1,27 triliun. Penegakkan hukum yang kurang kuat dan tegas menjadi salah satu faktor penyebab ke-20 produsen kelapa sawit tersebut melakukan persekongkolan dalam memonopoli harga minyak goreng yang sangat merugikan konsumen.

Pasal 4
Cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11

“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerja sama yang saling menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan serta pengembangan kerja sama tersebut.”

Tuesday, July 3, 2018


NAMA                       : HALEN RASDINA
KELAS                      : 2ID05
MATKUL                  : HUKUM INDUSTRI
RANGKUMAN MATERI KEL 5&6 BESERTA PEMJABARANNYA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG HAK CIPTA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi diartikan :
1.        Permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi)
2.        Perjanjian antarnegara, para penguasa pemerintahan.
Konvensi merupakan kumpulan norma yang diterima secara umum. Konvensi juga merupakan pertemuan sekelompok orang yang secara bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk mendengar dan didengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan dimaksud.
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan rumusan pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta (UHC) Indonesia..
Perlindungan hak cipta secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta. Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar diperoleh. Perlindungan hak cipta secara  internasional.
Perlindungan hak cipta secara internasional terdiri dari 2 konvensi  yaitu Berner Convention dan Universal Copyright Convention.
1.        Berner Convention
Salah satu hal yang paling penting dalam Konvensi Berner adalah mengenai perlindungan yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Pasal 5 (setelah direvisi di Paris tahun 1971) adalah merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini para pencipta akan menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. 
Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah: karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri.
Pengecualian diberikan kepada negara berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural.
Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern memuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta, yaitu:
a.    Prinsip national treatment; ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri
b.     Prinsip automatic protection; pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (no conditional upon compliance with any formality)
c.   Prinsip independence of protection; bentuk perlindungan hukum hak cipta diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum Negara asal pencipta
2.        Universal Copyright Convention
Merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasikan dua aliran falsafah berkaitan dengan hak cipta yang berlaku di kalangan masyarakat inrernasional. Di satu pihak ada sebagian angota masyarakat internasional yang menganut civil law system, berkelompok keanggotaannya pada Konvensi Bern, dan di pihak lain ada sebagian anggota masyarakat internasional yang menganut common law system berkelompok pada Konvensi-Konvebsi Hak Cipta Regional yang terutama berlaku di negara-negara Amerika Latin dan Amerika serikat.
Untuk menjembatani dua kelompok yang berbeda sistem pengaturan tentang hak cipta ini, PBB melalai UNESCO menciptakan suatu kompromi yang merupakan: “A new common dinamisator convention that was intended to establist a minimum level of international copyright relations throughout the world, without weakening or supplanting the Bern Convention”.
Universal Copyright Convention mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014
      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang baru yaitu tentang pembentukan Bank Industri
      Satu hal positif dari Undang-Undang Perindustrian yang baru ini yaitu keberpihakan terhadap industri kecil dan  menengah yang dapat dilihat pada batang tubuh dimana terdapat  satu  bab  khusus  yang  mengatur  tentang  pemberdayaan  industri khususnya industri kecil dan industri menengah
      Aspek yang ingin dicapai dengan pemberdayaan tersebut
  1. peningkatan daya saing
  2. peningkatan kontribusi kecil dan menengah di perekonomian nasional
Menimbang : 
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merdeka, bersatu, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan pembangunan nasional berdasar atas demokrasi ekonomi;

b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh; 

c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui penguatan struktur Industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional; 

d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian sudah tidak sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan industri sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; 

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perindustrian; 

Mengingat : 
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi; 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1984 TENTANG PERINDUSTRIAN
Menimbang:
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan UndangUndangDasar 1945;
b. bahwa arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya terdapat
kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri;
c. bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia;
d. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruhmampu melandasinya, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perindustrian.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2048);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan LembaranNegara Nomor 3215);
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok PertahananKeamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234).